Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

Menjaga Hubungan Agama dan Negara

Kamis, 24 Juni 2010

Share this history on :

Pemerintahan sekuler dan komunis telah membuat masyarakat Eropa Timur, khususnya Ceko, kian jauh dari nilai-nilai agama. Harapan hadirnya kembali agama dalam ranah publik muncul. Agama diminta turut ”bertanggung jawab” atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat modern saat ini.

Keinginan sebagian warga untuk menghadirkan kembali agama (gereja) dalam ranah publik itu diungkapkan Presiden Akademi Kristen Ceko, Praha, Mgr Tomás Halík dalam ”Dialog Antaragama: Mempromosikan Peradaban yang Harmonis dalam Masyarakat Plural” di Praha, Ceko, akhir Mei lalu. Namun, harapan itu belum bisa dipenuhi karena pembatasan negara yang kuat.

Saat tekanan dan frustrasi sosial terus meningkat dan politik sekuler tidak cukup mampu mengekspresikan kegundahan dan emosi, masyarakat spontan berpaling kepada agama. Semangat ini dapat dimanfaatkan pemimpin politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka dengan memanfaatkan retorika dan simbol agama. Agama akan menjadi senjata konflik politik yang mematikan.

Upaya melibatkan kembali agama ke ranah publik di negara Barat yang sekuler memang tak mudah. Kelindan antara agama dan negara pada abad pertengahan masih menyisakan trauma dan ketakutan. Runtuhnya komunisme dan kembalinya sekularisme tetap membuat masyarakat berhati-hati saat membahas agama untuk menghindari masuk ke ranah privat terlalu dalam.

Pada era demokratisasi, Pemerintah Ceko sebenarnya mengakomodasi keberadaan agama. Semua agama bebas tumbuh dan berkembang. Kondisi ini yang membuat pentingnya dialog untuk menjembatani keragaman yang ada. Nilai agama dapat diubah menjadi kekuatan potensial bagi terwujudnya perdamaian, bukan sebagai kekuatan yang merusak. ”Agama dan budaya dapat membangun nilai moral yang efektif bagi masyarakat,” katanya.

Wakil Presiden Yayasan Islam Ceko Vladimir Sanka menambahkan, keberadaan komunitas Muslim Ceko baru diakui akhir 2004. Undang-undang yang berlaku sejak 1992 pada awal runtuhnya komunisme tidak mengizinkan terdaftarnya komunitas Muslim karena jumlah pemeluknya kurang dari 10.000 penduduk dewasa. Namun, berdasarkan UU yang baru pada 2002, pendaftaran komunitas agama dipermudah, yaitu hanya dengan 300 penduduk.

”Masalah dengan negara tak ada. Yang ada hanya persoalan personal antarumat beragama serta beberapa diskriminasi, seperti sulitnya perempuan berjilbab melamar pekerjaan,” ungkap Sanka.

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Hasyim Muzadi membandingkan hubungan agama dan negara di Ceko dengan keadaan di Indonesia. Meski mayoritas rakyatnya beragama Islam, Indonesia bukan negara Islam. Dasar negara yang menjadi rujukan hukum nasional adalah Pancasila dan UUD 1945, bukan hukum agama tertentu.

”Indonesia bukan negara agama karena tidak memasukkan dogma teologi ritual menjadi aturan negara. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler karena tetap mengakomodasi masuknya nilai agama dalam negara,” katanya. Nilai universalitas agama itulah yang dimasukkan saat membangun sistem hukum negara sehingga tidak membuat terjadinya formalisasi agama. Pada saat bersamaan, hukum negara melindungi semua agama yang ada.

Menurut Hasyim, secara ajaran, agama tak memerlukan kekuasaan negara. Namun, fakta kehidupan modern membuat negara mengatur hampir segala hal untuk warganya. Karena itu, hubungan antara agama dan negara harus membuahkan kedamaian dan independensi agama.

Untuk menjamin terselenggaranya hubungan antara agama dan negara yang serasi, diperlukan pemahaman agama yang moderat. Orang beragama di Indonesia diharapkan menjadi agamawan yang baik sesuai ajaran agamanya dan pada saat berbarengan juga memiliki toleransi dengan umat agama lain sesuai kadar keimanannya. Mereka harus menjadi umat beragama yang baik, tetapi juga warga negara yang baik.

Konflik agama yang ada di sejumlah wilayah seharusnya tidak perlu dijadikan alasan, agama hanya membawa masalah saat hadir dalam kehidupan publik. Konflik agama umum- nya lebih banyak ditumpangi kepentingan jahat politik.

Hubungan antarumat beragama di Indonesia juga cukup baik. Saat mereka bertemu, hal-hal yang dibicarakan tak hanya tentang persoalan agama, tetapi juga persoalan kebangsaan, kemanusiaan, dan keadilan yang sama-sama dihadapi semua komunitas agama.

Isu aktual yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat itulah yang menurut perwakilan Kementerian Luar Negeri Ceko Edita Hrda kurang dikembangkan. Berbagai persoalan global dapat didialogkan untuk mencari kesepahaman bersama antarkomunitas yang berbeda agama dan budaya.

Salah satu media yang dapat digunakan untuk membangun dialog antarkomunitas yang berbeda bagi kepentingan membangun negara ataupun menata pergaulan global itu adalah pendidikan.

Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Pendeta Jan Sihar Aritonang, dalam dialog antaragama Indonesia-Hongaria di Gödöllð, Hongaria, akhir Mei lalu, mengatakan, komunitas agama di Indonesia sejak lama menyelenggarakan pendidikan bagi komunitasnya ataupun pendidikan umum yang terbuka bagi komunitas agama lain.

Tujuan pendidikan yang dikelola komunitas agama itu tak hanya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia mereka, tetapi juga meningkatkan kualitas manusia bangsa secara keseluruhan. Selama ini komunitas agama itu banyak menjadi sumber pemimpin bangsa.

Namun, banyak lembaga pendidikan yang dikelola komunitas agama belum membangun jaringan kerja terpadu, khususnya di antara agama yang berbeda. Padahal, kerja sama itu diperlukan untuk semakin memperkokoh dialog antaragama yang sudah berlangsung. Kerja sama lintas agama itu banyak diperankan lembaga kajian keagamaan, seperti Wahid Institute dan Maarif Institute.

Penulis : M ZAID WAHYUDI

(Source : kompas.com)

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar