Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

Membiarkan Pemborosan

Senin, 28 Maret 2011

Share this history on :
Kemacetan lalu lintas adalah pemborosan. Itulah pemborosan yang setiap hari terjadi, tetapi tiada tanda-tanda pemerintah mampu mengatasinya. Bahkan, sepertinya terjadi pembiaran. Padahal, nilai ekonomisnya tidak tanggung-tanggung. Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) memperkirakan pemborosan akibat kemacetan lalu lintas dan buruknya infrastruktur tahun ini naik 5% dari Rp35 triliun pada 2010 menjadi Rp37 triliun di 2011.

Itulah uang yang terbuang sia-sia, yang jumlahnya bahkan lebih besar ketimbang anggaran Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 2011 yang nilainya Rp21,371 triliun. Kemacetan membuat waktu tempuh menjadi lebih lama. Padahal, jarum jam tak bisa diputar mundur.

Kemacetan jelas membuat lebih banyak bahan bakar minyak yang dibakar percuma, sementara kendaraan praktis tetap di tempat. Macetnya lalu lintas juga mempercepat ausnya suku cadang angkutan. Akibatnya biaya pemeliharaan angkutan lebih tinggi.

Singkat kata, kemacetan telah membuat biaya distribusi melalui transportasi darat menjadi lebih mahal. Efek berantainya ialah produsen membebankan sebagian besar biaya kemahalan itu kepada konsumen. Padahal, ongkos distribusi memiliki kontribusi 30% dari total biaya produksi. Kalau ongkos distribusi membengkak, biaya produksi pun terdongkrak. Namun, bukankah daya beli menurun? Dalam konteks pasar domestik, yang terjadi belum tentu harga yang dinaikkan, melainkan mutu yang dikorbankan.

Dalam konteks pasar ekspor, pemborosan akibat kemacetan dan buruknya infrastruktur meningkatkan lebih jauh lagi biaya ekonomi yang sudah tinggi sehingga lebih menurunkan lagi daya saing produk Indonesia. Kemacetan dan buruknya infrastruktur itu pulalah yang membuat investor tidak berselera menanamkan modal mereka di negeri ini.

Kebijakan infrastruktur yang bersifat tambal sulam kian memperparah keadaan. Terbatasnya pembangunan infrastruktur di darat, misalnya, tidak diikuti kebijakan pembatasan kuota kendaraan pribadi serta pengembangan transportasi publik yang memadai. Akibatnya, meskipun jalan dibangun, kemacetan pun terus terjadi.

Karena itu, jangan heran jika biaya pengangkutan kontainer barang impor dari Singapura, China, atau Hong Kong ke Indonesia lebih murah daripada biaya pengangkutan kontainer barang dari Jawa ke Sumatra, Kalimantan, atau Sulawesi. Data Kadin menunjukkan selisihnya bisa mencapai Rp2,7 juta per kontainer.

Anehnya, pemerintah sepertinya masih melihat pemborosan hingga Rp37 triliun akibat kemacetan itu bukan masalah besar. Ibarat penyakit, pemerintah memandang problem infrastruktur seperti sakit gatal yang bisa sembuh dengan diberi bedak antiseptik.

Padahal, infrastruktur kita sudah sangat kronis. Ia membutuhkan operasi besar-besaran, bukan hanya obat penenang, apalagi sekadar obat gosok.

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar