Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

Degradasi Moral Politik

Selasa, 12 April 2011

Share this history on :

Degradasi moral politik nasional maupun lokal di negeri ini semakin menjadi-jadi. Mula-mula bermunculan partai baru tanpa ideologi baru sebagai ekspresi eforia demokrasi. Lantas, partai-partai baru merekrut siapa saja yang berpotensi mampu meraup banyak suara dalam pemilu maupun pilkada.

Jika ada seorang tokoh preman yang punya banyak pengikut, maka sangat mudah menjadi kader partai atau bahkan menjadi pengurus partai dan kemudian menjadi wakil rakyat atau menjadi kepala daerah. Akibatnya, makin panjang barisan kepala daerah yang berpotensi dijerat hukum karena korupsi.

Jika ada artis seksi yang populer maka akan menjadi rebutan partai karena dianggap mampu menarik simpati rakyat yang mayoritas berpendidikan dan berselera rendah, sekalipun tidak tahu masalah politik.

Disebut degradasi moral politik, jika partai-partai politik tidak lagi mengutamakan kualitas dalam merekrut kader dan menobatkan individu menjadi kandidat pemimpin. Yang dimaksud kualitas di sini adalah berbagai kemampuan berpolitik dan berkarakter baik-baik, yang diperlukan untuk mengelola kekuasaan yang bermuara pada upaya memajukan bangsa dan negara.

Konkretnya, setiap politisi selayaknya adalah public figure yang akan mampu menjadi lokomotif bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Dengan demikian, setiap public figure selayaknya lebih kapabel dalam arti seluas-luasnya dibanding khalayak umum.

Dengan demikian, jika partai semakin gegabah merekrut kader yang tidak kapabel untuk dinobatkan menjadi wakil rakyat atau pemimpin (di level nasional maupun lokal) maka layak disebut sebagai ironi. Selanjutnya, ironi demokrasi demikian sangat mungkin akan berakibat fatal bagi masa depan bangsa dan negara.

Misalnya, karena bangsa dan negara dikelola oleh elite politik yang tidak kapabel maka nasibnya semakin terpuruk. Dalam hal ini, bisa jadi korupsi semakin merajalela dan berbagai skandal memalukan semakin sering terjadi.

Selera Rendah?

Dalam rumus sosiopolitik, keberhasilan merebut kekuasaan secara demokratis ditentukan oleh selera massa dan bukan oleh kualitas partai. Jika selera massa masih rendah bisa jadi akan memilih pemimpin tanpa mempertimbangkan kapabelitasnya. Sedangkan selera massa lazimnya terbentuk sesuai dengan level didaktis.

Konkretnya, jika mayoritas rakyat kurang berpendidikan sangat mungkin akan berselera rendah dalam memilih pemimpin. Sebaliknya, jika mayoritas rakyat berpendidikan cukup maka seleranya juga akan tinggi dalam memilih pemimpin.

Data-data empiris tentang selera massa sebagai penentu keberhasilan meraih kekuasaan bisa ditemukan di banyak negara maju. Misalnya, mayoritas rakyat Amerika Serikat (AS) pasti akan memilih pemimpin yang dianggap paling kapabel karena mereka berpendidikan cukup.

Dengan demikian, jika ada selebritis yang terpilih menjadi pemimpin di negara super power tersebut memang memiliki kapabelitas memadai dan bukan hanya sekadar populer. Dalam hal ini, popularitas tanpa didukung kapabelitas tidak dapat diandalkan untuk bersaing merebut kekuasaan lokal maupun nasional.

Degradasi moral politik bisa jadi tidak dianggap riskan bagi masa depan bangsa dan negara oleh partai-partai yang hanya mengutamakan kemenangan dalam perebutan kekuasaan. Pada titik ini, setiap partai dan calon pemimpin yang diusungnya bisa mengambil jalan pintas untuk merebut simpati publik dengan memanfaatkan hiperbolisme iklan.

Misalnya, setiap kandidat pemimpin akan berlomba-lomba mengiklankan dirinya dengan ukuran sebesar-besarnya. Besar di sini bukan hanya dari segi dana tapi juga dari segi pencitraan. Konkretnya, banyak calon kepala daerah memasang baliho raksasa yang menggambarkan dirinya berpelukan dengan Presiden dan tokoh-tokoh nasional.

Menipu Rakyat?

Hiperbolisme iklan, sejak era reformasi cenderung dianggap paling menarik perhatian publik, sehingga partai-partai semakin sengit bersaing dalam memasang iklan untuk kampanye politik. Dalam hal ini, kampanye politik sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia fantasi.

Tentu sangat riskan jika kampanye politik semakin fantastis di tengah selera rendah mayoritas rakyat. Alih-alih memberikan pendidikan politik kepada rakyat, partai justru berlomba-lomba menipu rakyat dengan hiperbolisme iklan di berbagai media.

Melihat degradasi moral politik tampak semakin menjadi-jadi, wacana untuk merevisi regulasi politik layak dipopulerkan. Dalam hal ini, berbagai regulasi politik layak direvisi untuk mencegah runtuhnya moral bangsa secara keseluruhan.

Kini, korupsi telanjur merajalela karena negara ini selalu dipimpin oleh tokoh-tokoh yang sangat naif dan tidak berani menegakkan keadilan secara proporsional, dan setiap kekuasaan sangat mungkin diperoleh dengan mempraktikkan politik uang yang telanjur menjadi fenomena dalam demokrasi kita.

Selanjutnya, jika semakin banyak daerah dikuasai oleh pemimpin yang kurang kapabel, berbagai macam mafia jahat mungkin akan mengejawantah dan menggurita dalam berbagai level birokrasi pemerintahan yang semakin bobrok. ***

Penulis adalah Direktur Global Spectrum Institute.

Sumber : suarakarya-online.com

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar