Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

GABUNGAN PARTAI SEBAGAI PESERTA PEMILU

Senin, 09 Mei 2011

Share this history on :

Adanya konfederasi, koalisi, atau aliansi menguatkan sistem presidensial karena mengkutubkan kekuatan menjadi dua: oposisi dan pemerintah.

Baru sekali ambang batas parlemen (parliamentary threshold) diberlakukan, dampaknya sudah terlihat pada penyederhanaan partai di parlemen. Desain itu semakin lengkap dengan beratnya syarat pendirian partai baru dan menjadi peserta pemilu. Akibatnya, partai-partai pun memilih ja lan bergabung. Lantas, mungkinkah gabungan partai menjadi peserta pemilu?

Gagasan menjadikan gabungan partai sebagai peserta pemilu ini, sudah me ngemuka sejak tahun 2010 lalu, seiring mulai munculnya gagasan untuk me lakukan konfederasi partai. Selain kon federasi, gabungan partai itu antara lain berupa koalisi dan aliansi. Dengan membolehkan gabungan partai menjadi peserta pemilu, kepartaian di Indonesia pun diharapkan menjadi lebih sederhana.

Namun, gagasan ini kerap ditolak oleh para politikus di Senayan, yang mempunyai kekuasaan membentuk paket undang-undang politik. Mereka kerap menjadikan konstitusi sebagai dalih menolak gagasan itu. Yang mereka maksud adalah Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Konstitusi memang mengenalkan istilah peserta pemilu partai politik dan gabungan partai politik. Istilah terakhir ini termaktub di Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik....”

Tapi, apakah itu berarti konstitusi menutup ruang bagi gabungan partai menjadi peserta pemilu? Sebagian pengamat politik tak sependapat. Pengamat politik senior, Arbi Sanit, misalnya, menilai para politikus di Indonesia mestinya melihat efektivitas pembukaan kesempatan itu terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut Indonesia. Dia mencontohkan, sistem presidensial di Chile, justru kuat karena ditopang oleh koalisi.

Sebab, dengan adanya koalisi sebagai peserta pemilu, maka kekuatan bisa mengukutub menjadi dua: koalisi pendukung pemerintahan, dan koalisi oposisi. Dia menilai para politikus menolak gagasan itu karena ketidaktahuan. “Jadi, pemahaman mereka tentang multipartai, sistem kepartaian, dan sistem pemerintahan presidensial tidak nyambung. Apa persyaratan, nggak dipahami,” katanya kepada Republika, pekan lalu.

Arbi menilai konstitusi tak menutup pintu bagi majunya gabungan partai sebagai peserta pemilu. Sebab, gabungan partai itu pun, adalah partai politik.

“Saya yakin (peserta pemilu gabungan partai) tidak bertentangan dengan UUD, dan bisa diadopsi untuk pemilu legislatif. Karena koalisi itu juga kan partai politik. Nanti di undang-undangnya saja digeser peserta pemilunya kelompok partai,” katanya.

Ketua DPP PAN, Bima Arya Sugiarto, dengan gagasan konfederasi partai yang digulirkannya, juga meyakini bahwa pemberian kesempatan konfederasi partai menjadi peserta pemilu, justru akan menciptakan penyederhanaan. Jika diterapkan, kata dia, di parlemen hanya akan ada dua kutub, yaitu fraksi pemerintah dan fraksi oposisi, yang masing-masing tergabung dalam konfederasi.

“Ini sebetulnya wacana yang mulai disuarakan juga oleh beberapa kawan, supaya tidak ada pembangkanganpembangkangan baik di koalisi pemerintahan maupun oposisi,” katanya kepada Republika, pekan lalu. Bima Arya sendiri menilai konfederasi sebagai peserta pemilu tidaklah melanggar konstitusi. Apalagi, dalam sebuah konfederasi, yang menjadi peserta pemilu hanya partai induknya. “Tidak akan. Dalam UUD 1945, peserta pemilu adalah partai politik. Jadi, bukan konfederasinya yang didaftarkan,” katanya.

Meski demikian, Bima menilai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, masih membuka ruang multiinterpretasi. “Bisa diartikan bahwa harus partai politik. Bisa juga diartikan, yang namanya konfederasi adalah gabungan, itu juga partai politik. Tapi, ini punya potensi untuk di-judicial review nantinya ke Mahkamah Konstitusi (jika gagasan itu diadopsi UU Pemilu –Red),” katanya.

Alhasil, kalau pun gagasan itu hendak didorong, Bima menilai sebaiknya dilakukan antisipasi. Misalnya dengan mengkomunikasikannya dengan Mahkamah Konstitusi. “Jangan sampai proses pemilu terganggu karena masalah penafsiran seperti ini yang kemudian di-MK-kan,” katanya.

Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Nafis Gumay, juga berpendapat ruang bagi gabungan partai semacam konfederasi, perlu dibuka dalam UU Pemilu. “Menurut saya itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Karena, konfederasi itu kan juga partai-partai. Bisa saja itu dibuat. Bahkan itu nanti diatur lewat undang-undang saja,” katanya, dua pekan lalu.

Cetro, kata Hadar, menjadikan gagasan konfederasi sebagai peserta pemilu sebagai alternatif jika para legislator di Senayan, menaikkan angka parliamentary threshold secara drastis. Karena semakin tinggi angkanya dinaikkan, maka banyak partai yang akan terpangkas, dan berimplikasi pada banyaknya suara yang terbuang.

“Jadi, kalau PT dinaikkan menjadi sangat tinggi, maka kami meminta dibuka saluran konfederasi,” katanya. Adanya konfederasi sebagai peserta pemilu diyakini Hadar akan menyelamatkan suara-suara terbuang tadi.

Lazim

Gabungan partai sebagai peserta pemilu, hingga saat ini masih diterapkan di sejumlah negara. Baik yang menganut sistem presidensial, maupun parlementer. Penelisikan Republika mendapati, negara-negara penganut sistem presidensial penuh (full presidential system) yang memberi ruang bagi gabungan partai menjadi peserta pemilu, antara lain Chile, Argentina, Meksiko, Filipina, Iran, Brasil, Suriname, Dominika, Guatemala, Panama, Ukraina, dan Sri lanka.

Adapun negara penganut sistem semi presidensial, yang membolehkan gabungan partai menjadi peserta pemilu, antara lain adalah Rusia, Prancis, Romania, Senegal, dan Mali. Yang tidak memberlakukannya antara lain Portugal, Aljazair, Haiti, dan Lithuania.

Sedangkan negara-negara penganut sistem parlementer yang menerapkannya antara lain Italia, Albania, Timor Leste, Jepang, dan Malaysia. Sedangkan yang tidak menerapkanya, antara lain adalah Turki, Yunani, Jerman, Pakistan, Bangladesh, dan Inggris. Dengan demikian, koalisi tidaklah selalu identik dengan negaranegara penganut sistem parlementer.

Di Chile, yang merupakan negara penganut sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidensial paling sukses, pemilu legislatif yang digelar 11 Desember 2005 lalu, diikuti oleh empat gabungan partai. Yaitu Kekuatan Independen Regional yang beranggotakan Aliansi Nasional Independen, dan Partai Aksi Regional Chile.

Selain itu, Konsentrasi Partai untuk Demokrasi, yang beranggotakan Partai Kristen Demokrat, Partai untuk Demokrasi, Partai Sosialis Chile, dan Partai Sosial Demokrat Radikal; Bersama Kita Bisa Melakukan Lebih, yang beranggota kan Partai Komunis Chile, dan Partai Humanis; serta, Aliansi untuk Chi le, yang beranggotakan Uni Demok rat Independen, dan Pembaruan Nasional.

Di Filipina, pemilu legislatif pada 10 Mei 2010 lalu, diikuti oleh 29 peserta. Terdiri atas empat koalisi dan 18 partai/independen. Keempat koalisi adalah Koalisi Lakas Kampi CMD yang beranggotakan Lakas Kampi —sebuah partnership antara Kristen dan Muslim Demokrat—, Kabaka, dan Sorro. Koalisi lainnya adalah: Koalisi Partai Liberal (dua partai), Koalisi Partai Nasionalis (empat partai), Koalisi PMP (dua partai).

Pemilu 8 Maret 2008 untuk memilih anggota majelis rendah Malaysia (Dewan Rakyat), juga membuat kekuatan mengkutub menjadi dua kekuatan. Yaitu Barisan Nasional yang terdiri atas 14 partai, dan Pakatan Rakyat yang terdiri atas tiga partai. Jelas mana kekuatan pemerintah dan oposisi.

Barisan Nasional meraih 140 kursi, atau menurun sebanyak 58 kursi dibanding pemilu sebelumnya. Sedangkan, partai-partai yang tergabung dalam Pakatan Rakyat meraih 82 kursi, atau naik 62 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

Sebelum pemilu 8 Maret itu, selama berkali-kali pemilu di Malaysia diikuti oleh Barisan Nasional dan partai-partai lain secara sendiri-sendiri. Kehadiran Anwar Ibrahim, membuat partai-partai oposisi bersatu di bawah Pakatan Rakyat, yang merupakan padanan istilah fron rakyat, dan secara signifikan mengubah peta politik di Malaysia, terutama di parlemen.

Threshold

Sejumlah negara ada yang menerapkan ambang batas parlemen yang sama untuk peserta pemilu partai dan gabungan partai. Ada pula yang menerapkan berbeda, seperti Albania, Cheska, Hongaria, Italia, Lithuania, Polandia, Rumania, dan Slovakia.

Albania memberlakukan ambang batas 2,5 persen untuk partai, dan empat persen untuk koalisi partai. Cheska lima persen partai, dan delapan persen koalisi. Hongaria, lima persen partia, dan 10 persen koalisi. Italia, dua persen partai dalam koalisi, empat persen partai yang tidak dalam koalisi, dan 10 persen untuk koalisi.

Di Lithunia, lima persen partai, dan tujuh persen koalisi. Polandia, lima persen partai, delapan persen koalisi. Rumania, lima persen partai, dan 8-10 persen koalisi. Slovakia, lima persen partai, dan tujuh persen koalisi.

Tapi, untuk konteks Indonesia, karena salah satu fungsi keikutsertaan gabungan partai dalam pemilu adalah menyelamatkan suara hilang, pembedaan ambang batas dinilai belum diperlukan. Sebaiknya disamakan saja, kata Hadar.

Oleh Harun Husein

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar