Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

Memiskinkan Petani Bentuk Kejahatan Kemanusiaan

Kamis, 21 Juli 2011

Share this history on :

Kebijakan impor pangan khususnya beras, yang justru menjadi bumerang dan memiskinkan petani kecil bisa dikategorikan sebagai bentuk ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara. Apalagi, di sisi lain, pemerintah malah lebih berpihak kepada kepentingan obligor pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan cara memaksa rakyat pembayar pajak untuk menanggung beban utang obligasi rekapitalisasi perbankan itu.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia saat ini sangat membutuhkan pejabat yang bukan hanya memahami penderitaan rakyat kecil tetapi juga peduli dengan nasib mereka sehingga rela berjuang demi kesejahteraan rakyat banyak.

Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim, di Jakarta, Rabu (20/7), mengatakan penyelenggara negara tidak memiliki keberpihakan dalam memperhatikan nasib rakyat kecil. Menurut dia, perhatian pemerintah terhadap rakyat lebih bersifat rutinitas atau business as usual. Akibatnya, jumlah orang miskin bukannya berkurang, malahan bertambah setiap tahun. Karena itu, pejabat yang dibutuhkan Indonesia ke depan adalah aparat pemerintah yang mampu menggunakan semua sumber daya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

"Saya belum melihat ada pejabat negeri ini yang benar-benar prorakyat. Mereka tidak peduli lagi dengan rakyatnya. Mereka butuh rakyat saat diperlukan saja," tegas dia.

Zamroni menilai pejabat Indonesia tidak peka terhadap persoalan ketahanan pangan dan ketahanan energi. Padahal, potensi Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam itu tidak dimanfaatkan secara optimal oleh penyelenggara negara.

"Saya belum melihat program perbaikan nasib petani, distribusi pangan dan infrastruktur untuk menjangkau daerah yang miskin. Tampaknya, mereka menjabat bukan demi bangsa dan negara tetapi kepentingan sendiri. Ini namanya pejabat yang menjajah rakyat, bukan pejabat yang melindungi rakyat," jelas Zamroni.

Sebelumnya dikabarkan, kenaikan harga beras global yang menyeret penguatan harga beras di Indonesia diperkirakan kian menggerus daya beli rakyat miskin dan petani. Dalam sepuluh tahun terakhir, daya beli masyarakat untuk beras telah menyusut empat kali lipat. Secara umum kenaikan harga beras di dalam negeri berpeluang mendorong laju inflasi sehingga semakin menekan nasih rakyat miskin Indonesia yang mencapai 117 juta jiwa berdasarkan kriteria Bank Dunia.

Zamroni mengungkapkan pemerintah tidak adil terhadap rakyat karena pajak yang dipungut dari hasil keringat rakyat kecil dipakai untuk membayar utang BLBI. "Saya tidak mengatakan ini sebuah kejahatan. Ini jelas sangat tidak adil dan melukai rakyat. Ini kesalahan dalam mengalokasikan anggaran negara. Masalah prioritas menjadi penting, terutama menyangkut kepentingan masyarakat miskin yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahun," ujarnya.

Menurut dia, pajak harus digunakan untuk kegiatan pembangunan yang langsung bersentuhan dengan rakyat terutama masyarakat kecil yang terpinggirkan misalnya untuk ketahanan pangan dan perbaikan infrastruktur.


Tidak Menikmati

Direktur Indef Enny Sri Hartati menjelaskan petani Indonesia tidak menikmati keuntungan dari kenaikan harga beras global. Malah, pendapatan petani semakin tergerus karena terbebani untuk membayar utang biaya produksi.

"Setiap ada kenaikan harga komoditas pangan banyak petani yang masuk dalam katagori miskin. Soalnya, petani di Indonesia itu petani penggarap dan sekarang ini hasil panen petani penggarap habis saat masih di sawah dan tidak sempat disimpan di rumah. Setelah menjual panen, petani langsung menjadi konsumen, dan membeli dengan harga di pasar," jelas dia.

Kalaupun ada yang dibawa pulang, tambah Enny, biasanya hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri selama 1-2 minggu setelah panen. "Tetap saja yang menikmati keuntungan terbesar itu pedagang pengumpul. Petani penggarap dan mayoritas petani itu menjadi konsumen sesudah mereka menjual semua hasil panen. Dan sebagai konsumen mereka harus mengeluarkan ongkos lebih mahal untuk membeli beras," ungka Enny.

Ia mencontohkan petani menjual gabah di level 4.000 rupiah per kilogram (kg), dan mereka harus membeli beras di level 7.000 rupiah per kg. Dengan kondisi itu, kata Enny seharusnya pemerintah membuat kebijakan untuk mendorong petani mendapatkan akses penjualan langsung ke pasar tanpa melalui perantara.

"Tetapi langkah yang dilakukan pemerintah memang vulgar, dengan dalih tidak memiliki cadangan, tiba-tiba impor. Kenapa pemerintah tidak menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras. Padahal harga beras impor lebih tinggi daripada HPP. Kalau begitu pemerintah justru mensubsidi petani asing daripada petani lokal," papar dia.

Jadi daripada mengeluarkan anggaran besar untuk impor, katanya, seharusnya pemerintah menggunakan dana itu untuk menaikkan HPP, dan dampaknya akan menguntungkan petani karena Bulog bisa langsung menyerap beras milik petani dengan harga memadai. aan/YK/lex/WP

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar