Haris Media official website | Members area : Register | Sign in
Maaf Blog Ini Sedang Dalam Proses Pengembangan

Wajah Kelembagaan Negara

Kamis, 21 Juli 2011

Share this history on :

Dalam setiap diskursus mengenai sistem kelembagaan negara selalu terdapat dua elemen primer yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedang fungsi adalah isinya. Organ adalah status bentuknya, sedang fungsi adalah gerakan atau bagaimana bekerjanya wadah sesuai dengan maksud pembentukannya (Asshidiqie, 2010).

Dalam konstitusi, organ dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya dan ada pula yang disebut secara eksplisit hanya fungsinya. Ada pula organ, baik namanya maupun fungsinya, akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah sehingga akan menciptakan adanya pola penyebaran kekuasaan (dispersion of power) antara kelembagaan dengan dibentuknya lembaga sampiran negara.

Adapun pembentukan lembaga sampiran negara (state auxillary agencies) baik itu sifatnya struktural maupun nonstruktural sendiri merupakan pola reduksional dari hegemoni trisula kelembagaan negara yakni eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Oleh karenanya, doktrin Montesqiue sendiri tidak pernah ada dalam realitas pembentukan sistem lembaga negara karena akan selalu saja terjadi sifat eksklusivisme dan superioritas yang ditimbulkan oleh ketiga lembaga tersebut, sehingga akan menganggu kestabilan demokrasi.

Desakan adanya untuk membebaskan intervensi politik yang rawan terjadi di tiga trinitas lembaga negara itulah yang menjadi reason d’etre lahirnya lembaga sampiran negara sebagai lembaga perantara dan atau penengah (intermediary) bagi masyarakat untuk memasuki ranah politik negara.

Dalam konteks Indonesia, pembentukan lembaga sampiran dalam bentuk komisi, lembaga struktural, maupun nonstruktural, justru menjadi polemik tersendiri. Hal tersebut dapat terindikasi dari banyaknya lembaga dan komisi itu, menyebabkan satu fungsi ditangani banyak pihak.

Sebaliknya, banyak bidang yang justru belum ditangani secara baik. Hal itu tentu menimbulkan permasalahan, antara lain bagaimana status dan kedudukan lembaga negara dan komisi tersebut, akuntabilitasnya, dan koordinasi di antara mereka serta koordinasi dengan departemen terkait.

Belum lagi soal anggaran, mengingat masing-masing lembaga dan komisi itu memerlukan anggaran untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing. Hampir 75 persen pagu anggaran dalam APBN sendiri habis untuk mendanai operasionalisasi banyaknya lembaga tersebut sehingga muncul banyak laporan keuangan lembaga pemerintah dan negara yang dinyatakan disclaimer. Sebab, mulai dari sistem perencanaan, pencatatan, pelaksanaan hingga pengawasannya, tidak mencerminkan sistem akuntansi lembaga publik yang seharusnya.

Oleh karena itu, banyak permasalahan negara yang tidak sampai selesai dibahas karena adanya kurang koordinasi dari lembaga, komisi, maupun kementerian. Sebagai contoh dalam kasus pemberantasan korupsi, selalu muncul kontestasi antarlembaga, baik Kepolisian, KPK, MA, maupun Tim khusus Mafia Hukum.

Maka pada akhirnya bila ada permasalahan dalam pemberantasan korupsi, masing-masing lembaga saling lempar tanggung jawab dan melakukan aksi cuci bersih. Hal tersebut terjadi karena tugas pokok fungsi (tupoksi) ketiga lembaga tersebut hampir sama, yakni bergerak dalam yurisdiksional.

Adapun peran komisi negara yang dibentuk juga masih minim kontribusi untuk melakukan fungsi surveillance kepada lembaga/departemen. Peran ad hoc yang diemban Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, maupun komisi lainnya belum pernah melakukan gebrakan yang didengar publik, malahan berbagai komisi tersebut justru menjadi subordinasi lembaga yang diawasinya.

Peran Presiden sebagai lembaga eksekutif merupakan sumber dari ambiguitas fungsi dan peran organik yang diemban dalam sistem kelembagaan negara. Bukannya memperkuat fungsi organik lembaga, malahan Presiden membuat berbagai lembaga baru baik yang bersumber Penpres, Inpres, UU, Peraturan Pemerintah, maupun UU. Perilaku yang sedemikian tersebut merupakan bentuk ketidakpercayaan Presiden selama ini terhadap berbagai lembaga yang dipimpinnya.

Selama ini, Presiden terlalu reaktif dan bukan bersifat kuratif dalam menyelesaikan permasalahan negara melalui kelembagaan sehingga menimbulkan krisis moralitas dan loyalitas antara Presiden dan lembaga negara yang dipimpinnya. Oleh karena itulah, banyak arahan-arahan Presiden atau pun instruksinya yang belum tuntas dikerjakan para menterinya. Jumlahnya, diakui dia, seperti yang diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni masih kurang dari 50 persen.

Seharusnya, perintah Presiden bak sebuah titah. Mereka yang diberi perintah seharusnya mengerjakan dengan sepenuh hati. Kalau pun perintahnya tidak bisa dilaksanakan, harus kembali ke pemberi perintah untuk menyampaikan kendala yang dihadapi sehingga perintah itu tidak bisa dijalankan.

Sebagai seorang pemimpin, Presiden pun seharusnya menegur suatu lembaga kalau perintah yang dikeluarkan tidak bisa terlaksana. Kalau tidak jalannya perintah itu karena kapasitas dari yang diberi perintah, maka Presiden harus mengganti dengan orang-orang yang memiliki kapasitas.

Ketika Presiden diam saja terhadap perintah yang tidak jalan dan bahkan lembaga yang diperintah itu tidak diberi sanksi apa pun, tidak usah heran apabila semua lembaga menganggap enteng saja perintah Presiden.

Sebab, kalau pun tidak bisa dilaksanakan tidak ditegur, sebaliknya, ketika dilaksanakan pun sudah tidak menjadi perhatian Presiden. Kalau keadaannya seperti itu, maka Presiden seakan menjadi tidak ada. Presiden hanya dianggap sebagai sebuah sosok yang ada, namun keberadaannya tidak memberi arti apa-apa.

Agar tercipta good public governance maka sebaiknya lembaga-lembaga negara dan komisi-komisi yang ada saat ini ditata ulang. Lembaga atau komisi yang fungsinya tumpang tindih dengan yang lain, segera dibenahi. Bisa disatukan saja atau ada yang dibubarkan. Bisa juga dengan cara lebih memperkuatnya, agar lembaga dan komisi itu bisa menjalankan fungsinya dengan lebih cepat dan lebih baik.

Tentu saja, penataan ulang tersebut benar-benar dilakukan berdasarkan kepentingan bangsa dan negara serta melalui pertimbangan yang matang. Bukan didasarkan pada politik kepentingan jangka pendek


Wasisto Raharjo Jati
Penulis adalah analis Politik dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : harismedia.net@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar